Wong Njero, Ini Penjelasan Kangmas Dwi Sudarsono Ketua PSHT Cabang Mataram

Kangmas Dwi Sudarsono Ketua PSHT Cabang Mataram Pusat Madiun

MATARAM I shterate.or.id – Wong Njero, Begitulah dulu warga di desa saya, Tiron, Madiun menyematkan wong njero untuk seorang warga PSHT sebelum saya merantau ke Lombok pada 1988. Entah apakah sebutan wong njero bagi warga PSHT itu masih mengumandang di kalangan masyarakat desa saya itu. Kini, wong njero malah menjadi branding kaos yang beredar di media sosial dan berbagai platform penjualan barang online.

Mengapa sebutan wong njero yang tersemat pada warga PSHT begitu melekat dalam kehidupan sosial masyarakat saat itu ? Secara sosiologis, wong njero terbangun secara tidak terencana maupun terencana yang setidaknya telah melalui lima proses. Pertama, pada awalnya PSHT merupakan kelompok sosial, sebelum menjadi lembaga social. Kelompok sosial adalah kumpulan manusia yang memiliki kesadaran bersama untik menjadi anggota dan saling berinteraksi.

Kedua, seiring dengan perjalanan waktu, PSHT menjadi lembaga sosial. Lembaga sosial adalah system norma tentang kegiatan masyarakat yang bersifat terarah untuk melangsungkan kehidupan masyarakat dan kebutuhan pokok manusia. Sedangkan menurut Koentjoroningrat, lembaga sosial adalah satuan norma yang menata serangkaian tindakan dan berpola untuk kepentingan khusus manusia dalam kehidupan bermasyarakat.

Ketiga, PSHT memiliki norma sosial yang mengajarkan warganya tentang nilai persaudaraan dan berbudi pekerti luhur, tahu benar dan salah. Wong Njero terbentuk karena norma sosial PSHT yang ber-chemistry dengan norma-norma sosial di tempat warga PSHT berinteraksi sosial.

Keempat, wong njero adalah pengejawantahan dari norma berbudi luhur, tahu benar dan salah yang kemudian menjadi perilaku sosial warga PSHT yang dapat diterima oleh kehidupan sosial masyarakat (social acceptance) di sekitarnya. Penerimaan social itu disebabkan karena perilaku warga PSHT berselaras dengan perilaku masyarakat dan menciptakan perubahan sosial (sosial change).

Kelima, di dalam kelompok sosial warga PSHT tidak mengenal pelapisan sosial. Pelapisan sosial adalah perbedaan atau pengelompokan anggota masyarakat secara vertikal (stratatifikasi sosial). Di dalam komunitas warga PSHT hanya ada kangmas dan dimas, kanda dan dinda, kakak dan adik atau sinonim sejenis sesuai dengan sebutan masyarakat setempat.

Demikianlah perjalanan Wong njero warga PSHT yang berseiring dengan waktu hingga menjelang usia satu abad nanti. Apakah kelak Wong Njero hanya akan tersemat pada kaos dan menjadi platform branding penjualan barang online ? Atau Wong Njero itu akan terus
tersemat di sanubari masyarakat ? Entahlah ! Hanya sanibari kita yang akan menjawabnya.

Artikel dirilis oleh Kangmas Dwi Sudarsono Ketua PSHT Cabang Mataram”.