Sejarah SH Terate (Bagian 1) Masa Perintisan

SEJARAH SH TERATE

A. MASA PERINTISAN
(Tahun 1922 – Tahun 1952 )
Tahun 1922

Cikal bakal Setia Hati Terate adalah Setia Hati Pemuda Sport Club (SH PSC), perguruan pencak silat yang didirikan oleh Bapak Hardjo Oetomo, warga Desa Pilangbango, Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun, pada tahun 1922.
Beliau merupakan murid dari Ki Ngabehi Soerodiwirjo, pendiri aliran pencak silat Setia Hati (SH – lebih dikenal dengan nama SH Winongo), yang berpusat di Desa Winongo, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun.
Desa Pilangbango pada era pemerintahan Kolonial Belanda merupakan sebuah desa yang berada di wilayah Kecamatan Wungu, Madiun (sekarang Desa Pilangbango berubah status menjadi kelurahan, masuk wilayah Kecamatan Kartoharjo, Kota Madiun).
Pada awal perintisan, SH PSC hanya berupa tempat latihan pencak silat yang diikuti oleh sejumlah pemuda dan teman seperjuangan Pak Hardjo Oetomo. Berbekal ilmu pencak silat Djojo Gendilo Ciptomuljo, ciptaan Ki Ngabehi saat beliau berguru di SH Winogo, beliau mengumpulkan pemuda setempat untuk digembleng ilmu kanuragan.
Dokumen yang dimiliki KRAT H. Tarmadji Boedi Harsono Adinagoro,SE, Ketua Umum Setia Hati Terate Pusat Madiun, menyebutkan, latihan pencak yang digelar Pak Hardjo Oetomo saat itu, secara implisit diformat sebagai ajang pembekalan (basis) pemuda untuk melawan penjajahan Belanda.
Jiwa patriotisme yang berada di dalam dada beliau tidak rela tanah air tercinta dijajah bangsa lain. Demi memenuhi dharma bhakti kepada bumi pertiwi, setelah membuka tempat latihan di Pilangbango, beliau juga membuka tempat letihan pencak silat di daerah lain, seperti Loceret-Nganjuk, Pare-Kediri dan beberapa kota lain di Jatim.
Kajian data hasil penelusuran yang besumber dari catatan pribadi (buku harian) yang ditulis sendiri oleh Bapak Hardjo Oetomo, juga menyebutkan, beliau membuka latihan pencak silat dengan niat mulia. Yakni, mengembangkan ilmu pencak SH ke masyarakat kecil (rakyat jelata) dan para pejuang perintis kemerdekaan.
Sebelumnya, ada kecenderungan ilmu pencak SH diajarkan kepada kaum bangsawan. Sebut misalnya, kerabat Bupati, Wedana, Mantri Polisi dan masyarakat bedarah biru atau kaum bangsawan.
Dalam stratafikasi sosial masyarakat Jawa, komunitas kaum bangsawan ini biasanya memakai gelar Raden (R) di depan namanya. Misalnya, Raden Mas (RM), Raden Ajeng (RA), Raden Bagus (RB), atau juga Kanjeng Raden Arya Tumenggung (KRAT).
Sejumlah dokumen menyebutkan, terdapat beberapa alasan mendasar yang memantik niat Ki Hadjar Hardjo Oetomo membuka latihan dan mendirikan perguruan pencak silat “baru”. Yakni, terjadi silang pendapat cukup prinsip antara beliau dengan Ki Ngabehi Soerodiwirjo.
Selain alasan tersebut di atas, Hardjo Oetomo tidak sependapat jika ilmu SH diajarkan kepada anak anak Belanda. Sebab hal itu bertentangan dengan prinsip beliau, yang ingin menjadikan pencak silat, sebagai basis pelatihan pemuda dalam rangka menyusun kekuatan melawan penjajah.
Ditengarai, lantaran keberanian Hardjo Oetomo membuka tempat latihan baru ini, beliau dan siswanya sempat diolok-olok sebagai kelompok “SH Murtad”. Artinya tidak setia atau ingkar.

Tahun 1924

Bapak Hardjo Oetomo baru memberi nama latihan pencak silat yang didirikan itu pada tahun 1924, dengan nama Setia Hati Pemuda Sport Club. Nama itu disingkat oleh beliau sendiri dengan singkatan SH PSC. Itu setelah beliau bertemu dan berdiskusi dengan Amin Kuseri, seorang guru SR (sekolah rakjat) di Pare, Kediri. Di tempat ini, beliau juga sempat membuka tempat latihan.
Dalam buku hariannya itu, beliau menandaskan, sekalipun pemberian nama perguruan pencak silat SH PSC terjadi di Pare, Kediri, pusatnya tetap berada di Pilangbango, Madiun, kediaman beliau.
Tradisi komunikasi sosial yang dikembangkan di awal berdirinya SH PSC adalah “paguron” (perguruan pencak silat), dengan sistem kepemimpinan paternalisme (pola kepemimpinan yang menempatkan sosok patron (tokoh) atau guru berada pada posisi puncak atau pucuk pimpinan.
Selain dijadikan ajang olah kanuragan, SH PSC secara implisit diformat menjadi basis pelatihan dan pendadaran pemuda dalam pergerakan menentang penjajahan Belanda.
Karenanya, meski baru seusia jagung, SH PSC diawasi ketat oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Catatan singkat sejarah perjuangan Hardjo Oetomo, yang ditulis oleh istri beliau, Ibu. Inem Hardjo Oetomo, disebutkan, pada tahun 1924, beliau ditangkap Belanda karena melakukan gerakan menentang Pemerintah Kolonial Belanda di Madiun dan dihukum selama 3 (tiga bulan). Hukuman itu dijalankan di Talang, Djember (Jember).
Berdasarkan catatan tersebut, berarti beliau ditangkap dan dipenjara kolonialis beberapa bulan setelah mendirikan SH PSC di Pare, Kediri. Keluar dari penjara Talang, Jember, ternyata semangat Pak Hardjo Oetomo dalam gerakan perintisan kemerdekaan semakin berkobar. Aksinya ini menjadikan pemerintah kolonial Belanda semakin berang.
Tahun 1925, Pak Hardjo Oetomo ditangkap lagi dan dipenjara selama 6 bulan. Istri beliau, saat itu juga ikut ditangkap dan di bawa ke Bereau Velpolitie. Tapi dipulangkan lagi setelah menjalani interograsi dan menandatangani berkas perkara pemeriksaan.
Selang tiga bulan berada di penjara Pemerintah Kolonial Belanda, beliau dipanggil dan dibawa ke pengadilan (landraad) Belanda dengan tuduhan merencanakan aksi pemogokan dan menentang kebijakan peperintah kolonial di dalam penjara. Sidang mejelis hakim Pemerintah Kolonial Belanda memutuskan, Pak Hardjo Oetomo divonis hukuman penjara selama 5 tahun.
Vonis penjara 5 (lima) tahun itu dijalankan setelah Bapak Hardjo Oetomo menyelesaikan masa hukuman enam bulan di Talang, Jember. Berdasarkan putusan itu pula beliau dipindahkan dari penjara Talang, Jember ke penjara Tjipinang (Cipinang).
Dua tahun berada di dalam penjara Cipinang, Bapak Hardjo Oetmo, kembali melakukan gerakan melawan kebijakan penjajah. Karenanya, Pemerintah Kolonial Belanda mengambil langkah mengasingkan beliau ke penjara Padang Panjang (Sumatera).
Catatan itu juga menyebutkan, beliau sebenarnya sudah masuk dalam deretan nama-nama pejuang Perintis Kemerdekaan RI yang akan dibuang ke Boven Digul. Tapi hukuman itu urung dijalankan karena dia sudah menjalani hukuman selama 3 tahun di penjara Padang Pandjang.
Catatan ringkas perjalanan SH Terate yang dibuat oleh Bapak Darsono Hardjendro (wakil ketua SH Terate di tahun 1948) , menyebutkan, sekembali dari penjara Padang Pandjang, kehidupan Pak Hardjo Oetomo cukup menderita. Untuk menopang kehidupan rumah tangga, beliau sempat berganti-ganti berprofesi. Antara lain, menjadi mandor pabrik tenun, pukrul (pengacara). Bahkan pernah menjadi wartawan dan menerbitkan media masa (surat kabar atau koran).
Surat kabar yang didirikan Hardjo Oetomo berbentuk mingguan (tabloid) yang diberi nama “KEINSYAFAN RAKJAT”. Di media ini belaiau menjabat sebagai Pemimpin Redaksi.
Tapi tidak lama kemudian, Mingguan KEINSYAFAN RAKYAT diberedel (dilarang terbit) oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Alasannya, media itu dijadikan alat propaganda pergerakan menentang penjajahan di tanah air tercinta.
Setelah upaya pemberedelan tabloid tersebut, gerak gerik Pak Hardjo Oetomo terus diawasi. Bahkan, untuk memperketat pengawasan, Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pos penjagaan di depan rumah beliau di Pilangbango.
Mamasuki tahun 1938, kondisi phisik Pak Hardjo Oetomo mulai menurun. Dia menderita sakit stroke dan separo badannya tak bisa digerakkan. Karena keterbatasan itu, kegiatan SH PSC diamanatkan kepada sejumlah siswanya. Konsep kepemimpinan kolektif kolegial atau team work mulai dikembangkan, guna mengisi kevacuman posisi tampuk pimpinan.

Tahun 1942

Pada masa pendudukan Jepang, tahun 1942 , SH PSC berganti nama menjadi Setia Hati Terate (SH Terate). Nama ini merupakan usulan Soeratno Sorengpati, tokoh perintis kemerdekaan dari Indonesia Muda, salah satu siswa SH Terate saat itu. Salah satu alasan yang mendasari pergantian nama itu, antara lain, agar SH PSC tidak lagi dicap sebagai pemberontak seperti pada zaman penjajahan Belanda.
Sekalipun sudah berubah nama menjadi SH Terate, konsep komunikasi yang dikembangkan di kalangan warga SH Terate, pada era ini, masih tetap memakai konsep “paguron” (perguruan) pencak silat. Hirarki kepemimpinan masih dipegang guru, dalam hal ini Pak Hardjo Oetomo.

Tahun 1948

Atas izin Pak Hardjo Oetomo, pada bulan Juli 1948, digelar konferensi (musyawarah antar warga SH Terate) di kediaman beliau di Pilangbango, Madiun. Sejumlah murid beliau mulai tampil ke depan. Sebut, misalnya, Bapak Soetomo Mangkoedjojo, Bapak Darsono, Bapak Soemadji, Badini dan Irsad. Saat ini beliau dalam kondisi sakit. Separo badannya tak bisa digerakkan.
Temu kadang tersebut melahirkan mufakat, bahwa kegiatan SH Terate harus tetap berjalan dan berkembang. Karena beliau sudah tidak bisa melakukan aktivitas, kegiatan latihan pencak silat mulai diamanatkan kepada murid muridnya.Kemudian, digagas perubahan sistem komunikasi di tubuh SH Terate. Yakni, dari sistem perguruan pencak silat ke sistem organisasi persaudaraan.
Pada tahun 1950 Ki Hadjar Hardjo Oetomo, mendapat pengakuan danpenghargaan dari pemerintah Ri sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan RI.Penghargaan ini diberikan atas jasa beliau berjuang melawan Belanda.

Tahun 1952

Pada tanggal 12 April 1952 Ki Hadjar Hardjo Oetomo wafat dan jenazahnya dimakamkan di tempat pemakaman umum (TPU) Kelurahan Pilangbango, Madiun.
Ki Hadjar Hardjo Oetomo meninggalkan seorang istri, Ny. Inem dan dua orang putra yang diberi nama Harsono dan Harsini. Baik istri maupun putra beliau, Harsono, saat buku ini disusun Th 2013, sudah wafat. Jenazah Harsono, putra Ki Hadjar dimakamkan di lokasi pemakaman yang sama.
Keberadaan Pak Hardjo Oetomo sebagai pendiri, sekaligus pelatih atau guru pencak silat, menduduki posisi patron. Karena posisinya ini, beliau cukup disegani dan dihormati, murid-muridnya.Penghormatan itu kemudian diwujudkan dengan penghargaan, berupa julukan (gelar) “Ki Hadjar” (diambil dari akar kata dalam bhs Jawa: “ajar” yang artinya pelatih atau pendidik, pengajar.). Dalam perkembangannya, nama pendiri SH Terate disebut lengkap dengan gelarnya. Yaitu, Ki Hadjar Hardjo Oetomo.